Oral Presentation, Is It Important?

on Minggu, 24 Juni 2012
Kemarin baru saja mengikuti seminar Tradisional, Complementary and Alternative Medicine yang diselenggarakan oleh UMS solo. Seminar yang sangat menarik di tengah perdebatan obat herbal dan obat modern. Sayang saya hanya dapat mengikuti hari pertama saja :(

Yang tidak kalah menarik dalam seminar kali ini adalah kesempatan bagi 100 partisipan untuk turut memperesentasikan hasil penelitian mereka di hadapan umum, atau yang biasa disebut sebagai oral presentation. Tahun lalu saya juga mengikuti seminar yang sejenis dan hanya ada sekitar 20 presenter. Entah karena publikasi yang memang masif, atau karena minat para peneliti yang semakin meningkat untuk sharing mengenai penelitian mereka.

Tahun lalu, ketika saya masih jadi mahasiswa semester 4, saya dikira mahasiswa S2 oleh orang-orang yang ikut seminar. Well apakah muka saya setua itu -_____-". Jadi awalnya saya pikir juga hanya sedikit mahasiswa S1 yang akan mengikuti seminar ini dan menjadi presenter. Ternyata, banyak sekali loh yang ikut :D. Luar biasanya lagi, mereka bahkan telah menjadi presenter walaupun masih semester 2 s1 *garuk-garuk tanah inget dulu waktu semester 2 ngapain aja saya .___."*

Kebetulan saya 1 ruangan dengan 2 tim mahasiswa s1 dari UMY, 1 orang dosen UMY, dan 1 orang dari LIPI. Karena banyak mahasiswa s1, atmosfir presentasinya terasa kurang 'profesional' dibandingkan dengan tahun lalu. Tapi saya mengacungkan jempol untuk teman-teman mahasiswa s1 tersebut. Mereka belum belajar sedalam penelitian mereka, data yang dihasilkan pun belum menunjukkan signifikansi, tapi toh mereka berani?

Hmm, mungkin banyak yang bertanya, apa untungnya sih ikut gituan? Buat saya pribadi, yang sangat terasa adalah melatih presentasi di depan umum, terutama presentasi ilmiah. Apalagi presentasi menggunakan bahasa Inggris yang saya sendiri juga masih acakadut dan medhok, hehe. Karena kesempatan presentasi, walaupun di bangku kuliah, mungkin tidak semua orang bisa dan ingin mendapatkannya. Presentasi di depan kalangan profesional tentu membutuhkan persiapan dan kepercayaan diri yang lebih daripada ketika kita presentasi di depan kelas.

Kedua, transfer of knowledge. Semakin sering melihat presentasi macam itu, banyak yang bisa kita dapat. Mengenai metode yang digunakan, literatur-literatur baru, dan lain-lain. Dengan mengikuti oral presenter ini, kita dapat lebih leluasa bertanya kepada peneliti lain.

Sekali lagi, saya sangat appreciate dengan teman-teman yang sedari 'muda' sudah melatih diri untuk mengekspresikan diri di depan umum *dalam hal ini penelitian hehe*. Toh peneliti bukan hanya mengenai kerja di lab, tapi apakah kita juga bisa mentransfer pengetahuan kita ke orang lain? Sebel kan kalo ada dosen yang pinter tapi gag bisa menjelaskan ke kita? Dari menjadi seorang presenter, kita dapat belajar banyak untuk handal juga mentrasfer pengetahuan :)

Hidup Mahasiswa! *loh*

ini artikel yang bagus untuk dibaca : http://www.canberra.edu.au/studyskills/learning/oral
on Sabtu, 16 Juni 2012
http://mbiialone.deviantart.com/art/jendela-kuno-106393176

Saat semua terasa menyesakkan, tidak tahu mau apa lagi, maka hanya menunggu dan berharap hal terakhir yang bisa dilakukan. Menunggu. Berharap.


- Tere Liye


Kamu selalu tahu, menunggu pagi datang setiap hari adalah hal yang pasti.
Kamu selalu tahu, menunggu rembulan mengintai dari balik awan dengan bulat sempurna adalah pasti di tengah bulan.
Kamu selalu tahu, menunggui bumi berputar selama 24 jam setiap hari tak bisa dibantah lagi.

Kamu hanya mungkin tidak tahu, bahwa kamu selalu menunggu sementara ada orang lain yang menunggumu.
Dunia itu bulat, aku hanya berharap suatu saat kita akan saling mengintai, di balik tembok masing-masing.
Menunggu dan berharap.
Bukankah hidup itu indah? Seindah menunggu dan mengintaimu :)

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah - Review

on Minggu, 10 Juni 2012

Tentu saja, untuk memenuhi obsesiku itu, hanya tersedia satu-satunya cara : gadis itu harus naik sepitku saat hendak menyeberang. Maka, dimulailah tingkah bodoh, turunan langsung dari obsesi bodoh. Bangun pagi-pagi, aku sengaja berlama-lama merapat di dermaga kayu, mengabaikan seruan menggoda tangga tepian Kapuas. Menurut perhitunganku, antrean sepit nomor 13 memiliki kans terbesar kebagian jatah merapat pukul 7.15 teng. Hari pertama aku keliru, terlalu cepat. Sepitku sudah keburu dipanggil petugas timer, padahal gadis itu baru berjalan kaki masuk dermaga kayu. Sepitku penuh, gadis itu masih berdiri di antrean. Aku mendengus kecewa.

Menohok! Satu kata yang menggambarkan novel tereliye ini. Diceritakan Borno adalah bujang sungai Kapuas *di Pontianak* yang lulus SMA tidak mampu melanjutkan kuliah, terpaksa menjadi ‘sopir’ sepit atau perahu klotok kalau kata orang Banjarmasin, polos dan baik hati. Tersebutlah, ada seorang gadis chinesse berbaju kuning dengan payung merah, menjadi pelanggan setia sepit-sepit di sungai Kapuas. Dan Borno, tidak tahu apa yang dirasakannya, aneh. Terobsesi, bodoh, cinta?

Cerita tentang ‘cinta pertama’, sama ‘klise’nya dengan cerita-cerita cinta yang lain. Tapi dengan tohokan yang lebih di setiap lembarnya bagi pembacanya *atau cuma saya saja hehe*. Begitu banyak kisah yang seharusnya bisa merasionalkan perasaan. Memesona di setiap halamannya, dengan kalimat sederhana dan setting keseharian yang sederhana di tepi sungai Kapuas. Membacanya membuat hati hangat, atau saya yang lebay ya? Terlanjur terpesona dengan kepolosan dan kesamaan Borno atau Mei dengan saya, mungkin kamu, mungkin kalian. Haha. Selamat merasa tertohok ketika membaca ini :). Tidak butuh lebih dari 24 jam untuk menikmati novel setebal 507 halaman ini loh. Ringan dan menyenangkan.

ah, cukup memuji tereliye kali ini :)

Langit selalu punya skenario terbaik.
Saat itu belum terjadi, bersabarlah.
Isi hari-hari dengan kesempatan baru.
Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang.

Wait me, satu-di -antara 7-miliar-ku :)

Ini lagu yang tepat : Mata, Hati, Telinga


Key #21

on Kamis, 07 Juni 2012

Sebagai mahasiswa farmasi, teori mengenai kunci dan gembok sudah sangat familiar. Interaksi antara obat dengan reseptor adalah bagaikan kunci dan gembok. Pas satu sama lain. Hanya jika ada kunci yang pas, gembok bisa aktif. Maksudnya, cuma kalo ada obat yang pas bentuknya dengan reseptor, maka reseptor akan aktif dan memberikan efek pada tubuh.

Well.

Saya sangat berharap, 21 menjadi kunci bagi saya untuk membuka gembok-gembok kehidupan saya. Gembok rejeki, gembok ilmu, gembok cita-cita, dan tentu saja gembok jodoh, haha. Toh orang bijak tak pernah mengubah petuah mereka : kunci hidup ya berusaha, berdoa, ikhlas. Kunci-kunci itu yang perlu dicari dan dibangun lagi dari sekarang *pecut diri, haha*. So, welcome new age, welcome new keys, aamiin.

Aku dan Raka - 4

on Sabtu, 02 Juni 2012
Di kasurku, pagi ini
Terakhir kali aku menangis, sebelum tangisan-tangisan di kasur ini tentu saja, adalah ketika aku berumur 20 tahun. Saat kado-pernikahan-ku itu. Tangis haru yang selalu diteteskan pengantin wanita ketika ‘berpamitan’ pada ayah bundanya.
Terakhir kali aku tidak menangis setiap pagi, adalah beberapa bulan sebelum aku mendiami kasur ini. Pagi yang masih komplit. Pagi dimana aku masih memiliki hidupku seutuhnya. Pagi dimana aku tidak melihat papan nama itu, di atas kepala kasurku.
Aku beringsut, di atas kesadaranku membereskan kasurku, yang sama bau asamnya dengan gulingku. Gerakan yang sama seperti kemarin, seperti kemarinnya lagi. Melipat selimut, membenarkan bantal dan guling, merapikan seprai, menghela nafas.
Aku menatap lagi kasurku, hihi sudah rapi, tanpa tangisan berarti. Pandanganku beranjak ke atasnya, kepala kasur.
Pasien : Dian Karunia Putri
Dokter : dr. Suharyanto, Sp.KJ
Aku meneteskan air mata. Tergugu.

4 tahun 1 bulan yang lalu
Sinar terang. Aku silau tak bisa membuka mata.
“Raka.. sst, dian..” Tak jelas aku mendengar orang di sekelilingku bergumam. Kenapa mereka tak bicara lebih jelas?
Aku pusing. Aku butuh obat migrain-ku. Kupaksakan kubuka mata, putih. Aku dimana?
“Malam ini pemakamannya, orang tua Raka tak ingin menunda”
"Wah sayang ya, masih muda dan di puncak karir. Truknya ngebut banget no berarti sampe mobilnya kayak gitu."
Aku bergetar. Saat aku mendengar jelas, kalimat macam apa ini?
“Rakaaaaaaaaaaaaaa!”
“Hen, panggil dokter, Dian sadar!” Orang kembali bergemuruh di sekitarku.

Yang aku tahu, gemuruh orang-orang mengantarkanku ke gemuruh lain dalam diriku, dalam fisikku, dalam otakku, dalam hatiku.
Gemuruh yang mengantarkan Raka dan Raka kecil-ku. Dan aku disini, tergugu setiap pagi.