Titik Nol - Agustinus Wibowo

on Minggu, 16 Februari 2014
Finally I've finished a book! 

Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan


Fyuh, di tengah kehidupan anak profesi apoteker dan berbagai pekerjaan lain, ternyata menyelesaikan sebuah buku menjadi pencapaian yang membanggakan buat saya di weekend ini. Hehe lebay. Sedikit tertolong oleh hujan abu yang menyebabkan saya punya 3 hari off untuk menyelesaikan buku dari Agustinus Wibowo : Titik Nol.

Sejak baca bukunya yang berjudul Selimut Debu, saya tertarik membaca petualangan mas Agustinus lagi. Dalam buku ini, ia menamakan perjalanannya Safarnama, catatan perjalanan. Perjalanan dimulai dari Beijing, berlanjut ke Tibet tempat Agustinus berusaha melihat Dalai Lama dan menyaksikan komersialisasi religi. Perjalanan berlanjut ke Bhutan dan Nepal. Agustinus menggapai puncak Annaparu di pegunungan Himalaya, terkagum pada orang-orang dari penjuru dunia yang memasrahkan dirinya pada alam Himalaya untuk menemukan kedamaian di tempat ekstrim, dan bertemu dengan para hippie yang merupakan traveler legendaris. Perjalanan kembali berlanjut ke India, yang menurutnya : "Aku menemukan Indonesia di India, tetapi segala hal tertarik ke sudut terekstrim." (well, bagian India ini membuat saya tak tahan membayangkan hidup di sana). Agustin kemudian menyeberang ke tetangga India yang muslim, Pakistan. Disambut oleh keramahan warga Pakistan dan indahnya lembah Kashmir, tetap saja ada sisi negatif dari Pakistan. Cerita ditutup oleh akhir perjalanannya di Afghanistan, tempat ia tinggal untuk beberapa saat sebagai wartawan perang, sebelum akhirny mendapakan kabar bahwa ibunya menderita kanker. Agustinus "pulang" ke kampung halaman.

Ia menceritakan Safarnama-nya kepada Ibunda yang sedang berjuang hidup dengan kanker. Ibunda yang setia menunggunya menggapai mimpi-mimpinya bertualang di belahan dunia sana. Ibunda yang membuatnya tersadar, bahwa perjalanan kadang berbeda arti dengan bepergian. Ibunda-nya menuntunnya menemukan makna dari perjalanan-perjalanannya. Dalam buku ini, Agustinus terbuka menceritakan kehidupan keluarganya, tak peduli mungkin dia melanggar prinsip Tionghoa kuno : "Aib keluarga harus ditutupi." Terima kasih, sudah memberikan bacaan cerdas bagi kami mas Agustinus, untuk lebih memaknai hidup, dan waktu bersama dengan orang tua :)

Sekali lagi, buku ini wajib dibaca! :)


keberhasilan bukanlah cuma tentang mencapai puncak,
 tapi juga bagaimana menikmati pemandangan bukit dan lembah, 
gumpalan awan, mendengar simfoni burung dan rumput, 
embusan nafas, bersyukur akan hidup,
 dan yang paling penting : turun kembali dengan selamat.


Hurts, sometimes

on Sabtu, 15 Februari 2014
Senja terasa menyesakkan. Tak terlihat matahari senja Jogja yang akhir-akhir ini sebenarnya sangat eksotis, menurutku. Wajar, karena abu yang sejak kemarin menyelimuti Jogja masih beterbangan terbawa angin. Tak wajar, situasiku saat ini. Duduk berdua dengan sahabat di beranda suatu kafe, menatap debu beterbangan mengikuti jejak mobil yang lewat. Jika tidak ingat bahwa sahabatku ini sangat butuh teman bicara langsung, tak sudi aku melangkahkan kaki keluar rumah yang nyaman.

Aku menangis bukan karena takut kehilangan.  
Aku menangis karena takut menyakiti orang begitu dalam..

Akhirnya ia membuka ceritanya. Langsung ke inti cerita. Mata sedikit merah, tertunduk lesu, menatap debu. Kombinasi yang pas, untuk mencerminkan wanita yang benar sedang galau. 

Melihatnya, aku ikut termenung. De javu. Bertahun silam aku pernah berada di posisinya. Aku mengingat, apa yang dulu pernah menguatkanku? Selintas tersirat percakapan itu. Mama.

Ndug, manusia itu diciptakan Allah untuk kuat. 
Sakit apapun, percayalah bahwa setiap orang yang baik pasti akan kuat.
Jangan takutkan orang lain, jika memang tidak baik diteruskan.
Setiap orang memiliki jalannya, doakan saja semua kuat untuk terus melangkah.

Dan pada akhirnya, aku percaya, bahwa manusia memang diciptakan tidak untuk selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Manusia memiliki resiliensi. Manusia memiliki kemampuan untuk menyembuhkan luka, selama ia berjalan dengan baik. Jadi,

Lepaskanlah,
Lepaskanlah dengan baik,
Berjalanlah semua dengan baik,
Hingga akhirnya, kalian tertawa dan mengenang,
sebagai sahabat yang saling menguatkan.



Well, everybody hurts
Sometimes, everybody cries
And everybody hurts
Sometimes

Re-defining Success

on Rabu, 05 Februari 2014
One thing I love when I have to make an essay is, I have to make a contemplation. I ask myself, what's the point of view I'll choose. Yet, I have to write an essay themed "success". Actually I have to write this essay since last December. In fact, I finished it yesterday. Two months just to make an essay of 500 words. Well.. I'm not in my best effort but I try my best :p Wish me luck, friends!

In that essay, I re-defined success according to me at this time :p. So guys, what do you think about success?

When I was in elementary school, success for me is when I got the 1st rank in the class, also when I entered the favourite school in Jogja. It happened until I was in senior high school. Success is when I entered faculty of pharmacy, UGM ^^v All is about the achievements. I success when I achieve something. 

Four years in undergraduate study, I thought I've seen people with many achievements. Are they success? Absolutely! But then, I realize that success is not only about achievements. Now I'm trying to believe that success is a lifestyle. Success is a whole story, not the end of the story. Learn something from the journey, not only focusing at the end. In fact, at the end we'll see that we've got many things to share.