Mataku mengerjap. Refleks kutekan tombol on handphone, mengerjap sekali lagi, kali ini terkejut. Pukul 02.07 am. Hal yang luar biasa mataku masih bertahan hingga saat ini, setelah sejak pagi aku tidak memejamkan mata sedikit pun. Tersadar sekarang aku melewati "ambang batas kantuk"-ku. Kulirik cangkir kopiku yang tinggal sepertiga, menyesal. Sepertinya esok pagi akan kulewati dengan mata panda.
"Mbak Mia, apalagi yang kurang untuk besok? Mumpung mama mau ke supermarket hari ini. Cek lagi tas dan checklistnya. Roti udah? Teh kotak? Mentos? Sikat gigi? Kamu di rumah aja kan beres-beres?"
Pagiku hari ini diawali dengan kericuhan mama. Keluar kamar, rentetan pertanyaan memberondongku. Setengah sadar kujawab mamaku. Mengumpulkan nyawa, baru kujawab dengan rentetan jawaban dan request barang-barang yang kuperlukan. Meyakinkan mamaku aku akan di rumah, memastikan barang-barang bawaanku terkemas dengan baik. Memastikan bahwa dengan seluruh barang-barang yang dibawakan mama: koperku tidak overweight.
Pukul 02.10 am, mataku melirik ke sudut kamar. Berderet manis koper bagasi merah besarku, koper ungu kabin, tas jinjing cokelat warisan papa, ransel cokelat belelku yang masih setia, serta jaket tebal anti AC-ku. Seharian aku memberesi hal-hal tersebut, hingga akhirnya seluruh koper dan tas jinjing digembok dengan cantik. Besok aku dan barang-barangku akan melanglang buana, memulai hidup jauh dari keluarga. Satu yang belum kuberesi, kenangan.
Usai membereskan barang-barang tadi malam, tanganku usil membuka folder foto-foto di laptop, melihat perjalanan hidup. Teman, keluarga, orang tak dikenal. Berusaha mengingat-ingat momen dan perasaan saat foto-foto diambil. Hampir di seluruh foto, aku tersenyum atau tertawa. Kuingat lagi, benarkah saat itu aku tertawa? Padahal malamnya aku baru saja bertengkar dengan kakakku. Padahal malam sebelumnya baru saja ada orang yang tidak menepati janjinya. Padahal malam sebelumnya baru saja aku menangis semalaman.
Pukul 02.15 am.
Ah, orang datang dan pergi. Bahagia dan sedih silih berganti. Ada saat yang berat di hati, memaksa hati untuk menutup diri. Ada saat bahagia menghampiri, membuat senyum tersungging sepanjang hari. Seperti malam ini, aku tersenyum memandangi foto-foto itu. Foto-fotoku tersenyum, entah senyum dari hati, atau dengan luka di hati.
"Jawaban dan kedamaian hanyalah untuk orang-orang yang mengerti. Mengerti bahwa Sang Maha Pembuat Rencana itu benar adanya. Kalau itu terlalu absurd untukmu dan kau ingin hatimu damai, cobalah mengerti bahwa memaafkan adalah obat terbaik. Memaafkan bukan siapa yang benar atau salah, bukan pantas atau tidak pantas, bukan rela atau tidak rela. Memaafkan adalah keputusan yang kaubuat dengan kesadaranmu, bukan dengan kerelaanmu. Kau sadar bahwa memaafkan adalah untuk kepentingan hatimu, bukan untuk orang lain. Suatu saat aku yakin kau akan mengerti, Mi.."
Aku termenung, memandang fotoku tertawa saat sedang outbond di Kaliurang. Aku ingat jelas, tawaku itu adalah jenis tawa menyamarkan luka. Teringat obrolan galauku dengan sahabatku, dalam hati mengakui bahwa sekali lagi sahabatku benar. Pada akhirnya aku dapat mengenang semuanya dengan tesenyum. Menertawakan kebodohanku, menertawakan kelabilanku, pun menertawakan kebahagiaan-kebahagiaanku. Aku siap melangkah esok pagi, bukan untuk meninggalkan kenangan, tetapi dengan mengemas rapi kenangan-kenangan. Mengemasnya di suatu tempat hingga akhirnya dengan tersenyum kubuka kembali.