Buku travelling akhir-akhir ini semakin banyak ditulis dan juga dibaca. Semakin banyak orang-orang yang ingin 'mencicipi' tempat-tempat di dunia, tapi masih terkendala berbagai hal, sehingga memilih untuk 'mencicipi'-nya melalui buku. Termasuk saya :D. Mulai dari menjelajah negeri kita sendiri seperti Indonesia Meraba maupun yang melukiskan tempat-tempat di dunia seperti bukunya Trinity, The Journey, atau bahkan 99 Cahaya di Langit Eropa. Tapi, adakah yang berani dengan gamblang hidup di daerah konflik, menjelajahinya, dan hidup bersama penduduk asli hingga benar-benar paham adat istiadatnya?
Agustinus Wibowo adalah satu di antara sekelumit orang tersebut. Ia menceritakan Afghanistan, negeri dengan sejarah besar, walaupun yang diingat oleh penduduk dunia saat ini adalah konflik berkepanjangan. Ingatan tersebut tidak salah sama sekali. Afghanistan adalah negeri yang keras, baik alam maupun manusianya. Sejarahnya sebagai daerah perlintasan perdagangan di Asia membuatnya menjadi rebutan berbagai kerajaan dan bangsa sejak ribuan tahun lalu. Pergolakan tidak hanya terjadi pada hal kekuasaan saja, tetapi juga dalam kehidupan sipil sehari-hari terutama menyangkut sentimen antar ras yang menjadi penduduk asli Afghanistan. Bahkan, Agustinus berhasil memotret realita bahwa homoseksualitas adalah hal yang banyak terjadi di Afghanistan, dan nyaris menjadi korbannya!
Namun, jangan dikira Afghanistan bagaikan tempat terburuk di dunia yang tidak memiliki kebanggaan dan kebaikan sama sekali. Penduduk Afghanistan sangat menghormati tamu dan bahkan merasa malu jika tidak dapat melayani tamu dengan baik. Afghanistan juga tidak hanya terdiri dari gurun yang meniupkan khaak -debu- saja, ada lembah indah Bamiyan yang menjadi oase di tengah kegersangan alam yang keras. Walaupun penuh dengan kekerasan dan kesulitan, penduduk Afghanistan terus memegang Nang dan Namus, kebanggaan dan kehormatan, pada negeri mereka.
Wow! Selain takjub pada berbagai sisi Afghanistan, saya juga takjub pada Agustinus Wibowo yang telah 2x tinggal dalam waktu cukup lama di Afghanistan. Agustinus bahkan bisa berbahasa Pashtun yang membuatnya dapat menyelami kehidupan penduduk di sana. Hidup dari samovar -warung teh- ke samovar lain. Berkendara dari falang coach ke falang coach lain. What a great journey! And he is not just a traveller, but an explorer :)
“Organisasi-organisasi raksasa dengan momok birokrasi yang rumit terus berbicara tentang konsep-konsep dan solusi dalam "bahasa langit", sementara kaki mereka tak menjejak pada kehidupan akar rumput rakyat Afghan yang sebenarnya. Anak-anak jalanan masih saja bertebaran di mana-mana. Perempuan masih bersembunyi. Jalan masih berdebu. Rumah-rumah belum tersentuh listrik dan air.”
― Agustinus Wibowo, Selimut Debu
“Organisasi-organisasi raksasa dengan momok birokrasi yang rumit terus berbicara tentang konsep-konsep dan solusi dalam "bahasa langit", sementara kaki mereka tak menjejak pada kehidupan akar rumput rakyat Afghan yang sebenarnya. Anak-anak jalanan masih saja bertebaran di mana-mana. Perempuan masih bersembunyi. Jalan masih berdebu. Rumah-rumah belum tersentuh listrik dan air.”
― Agustinus Wibowo, Selimut Debu
0 comment:
Posting Komentar
speak up! ;)