"Di, kamu jangan terlalu berharap sama aku."
"Hmmm..," aku mengangguk-angguk, mataku terus tertuju pada knitting stick-ku. Pola baru kaos kaki yang kudapat kemarin cukup sulit. Butuh konsentrasi untuk membuat pola P dan K-nya.
Hening. Suara air bocor di keran kamar mandi terdengar jelas, beradu dengan keyboard laptop Raka.
"Di, aku serius. Kamu jangan terlalu berharap sama aku," di tengah ketikannya, Raka kembali berpaling padaku dan mengucapkannya.
"Iya Raka..," kembali mengangguk-angguk lalu, aku merasa mendapat pola rajutan ini, tinggal melanjutkannya dengan konsentrasi.
"Liat aku deh Di."
Raka memaksaku mendongak.
"Gimana bisa Ra? Kamu kan suami aku, aneh kalo aku gag berharap sama kamu. Berharap gimana sih maksudnya? Masak istri gag bisa berharap sama suaminya. Terus aku mesti berharap sama siapa?" sekali terusik, ceriwisku keluar bak kereta api. Raka pasti menyesal mengusikku.
Raka tersenyum. Merasa berhasil mengusik keceriwisanku keluar.
"Dian, jangan berharap denganku. Pertama sejak aku kenal kamu, aku selalu berharap kau mengharapkanku. Sekarang setelah kamu bersamaku, aku sadar, bukan seharusnya kamu selalu mengharapkanku. Serahkan pengharapanmu seluruhnya pada Allah, untuk menjagaku. Mungkin suatu saat aku akan tiada, dan kau tak bisa mengharapkanku lagi. Tapi Allah, akan terus menjaga pengharapanmu Di, menjagaku untukmu.."
Raka menarik nafas panjang, menatapku di mata, mataku yang berkaca-kaca.
- Yogyakarta, 9 Agustus 2013
dan hanya kepada Allah, kita semua berharap
0 comment:
Posting Komentar
speak up! ;)