Kuseret langkahku tertatih.
Kurasakan nafasku memendek. Terengah-engah. Sebentuk awan menyembul dari mulutku setiapku membuang nafas. Hal yang keren, ketika aku sering melihatnya di film-film hollywood, ketika aktornya atau aktrisnya sedang bermain salju. Dalam kenyataannya, tidak ada hal yang keren sama sekali ketika aku berhasil membuat awan-awan itu. Tidak di sini, di lebih dari 3000 meter dari permukaan laut. Ketika oksigen menipis, membuat kepalaku semakin pening, dan membuat kakiku semakin berat melangkah.
Kutatap kawan-kawanku, di depan dan belakangku. Tidak ada yang bisa bicara dengan kondisi seperti ini. Tidak ada gelak tawa seperti saat kami masih di pos sebelumnya. Tidak ada yang masih dengan gagahnya berdiri tegak. Semua tertatih. Namun, masih ada satu yang tetap : sinar mata mereka, masih semua sama. Kami akan mencapai puncak bersama, sekali lagi.
Mataku mengerjap. Ah, aku pasti melamun tadi. Kulihat tumpukan kertas di atas mejaku, menunggu untuk ku-review. Kuhela nafas..dan teringat satu hal yang selalu kami, aku dan sahabatku, ingat setiap saat kami jenuh.
"Ra, lo masih inget tujuan kita naik? Tujuan kita hunting berbagai puncak? Tujuan kita nabung buat beli peralatan mendaki? Bukan, bukan puncaknya..Lo sendiri tahu begitu naklukin satu puncak, bakal selalu ada puncak yang lain, nunggu buat didaki. Sampe kapan kita puas kalo gitu? Sampe naklukin Everest mungkin.."
And I always remember the end of this conversation.
Kami selalu, merindukan suasana ini. Tatapan mata menyorot tujuan yang sama, senyum selintas penuh arti, tepukan di pundak menyemangati. Ketika semua orang di kota sana berfokus pada puncak, dan kami di alam terbuka ini lebih senang disebut mendaki lereng. Lereng yang selalu kami syukuri, entah ketika berada di puncak, pun ketika kami terpaksa harus turun karena cuaca buruk atau kondisi tidak memungkinkan. Kami selalu, bersyukur.