Raka, saat ini malam bulan puasa. Malam di mana orang selesai sembahyang tarawih, malam di mana orang berduyun pergi ke masjid dan surau, malam di mana takbir lebih sering dikumandangkan dibanding dengan malam-malam pada 11 bulan lainnya. Juga malam di mana iklan sirup menyegarkan lebih sering diputar, serta tak ketinggalan, hah, malam di mana iklan rokok sok suci turut serta mengucapkan selamat berpuasa dan menyuruh kita membersihkan hati. Sekali lagi : Hah.
Aku baru saja sampai rumah. Sepanjang jalan kudengar kembang api meluncur. Beradu dentuman. Membuat pelangi di langit gelap. Tak lupa, bersahutan dengan takbir dari masjid. Kau tahu, aku menyukai melodi bulan puasa ini. Mungkin besok aku juga akan membeli alili, kembang api yang dipegang dengan tangan, yang panjang bertangkai itu, kalau kau belum tahu, Raka. Kembali ke masa kecil, memutarkan percik apinya, berfoto bersama, dan menakuti Tia.
Raka, kau tahu hati manusia seperti sumbu kembang api? Tidak? Ah kau memang suka bilang aku penceracau yang baik, haha. Kali ini, aku menyadari bahwa hatiku seperti sumbu kembang api. Sumbu yang tenang jika tak disulut. Tentu saja aku memang anak yang tenang. Setenang ombak di laut lepas mungkin. Metafora yang aneh, memang.
Malam ini, aku ingin memercikkan apiku ke angkasa. Memercikan gurat perasaan dan kesedihan ke langit gelap. Meluncur ke langit ke tujuh tempat mihrabNya. Mendekap segala percik kesedihan hingga tak bersisa.
Raka, aku kembang api. Dan kau mungkin akan jadi korek api nanti. Haha.
0 comment:
Posting Komentar
speak up! ;)