Aku dan Raka - 4

on Sabtu, 02 Juni 2012
Di kasurku, pagi ini
Terakhir kali aku menangis, sebelum tangisan-tangisan di kasur ini tentu saja, adalah ketika aku berumur 20 tahun. Saat kado-pernikahan-ku itu. Tangis haru yang selalu diteteskan pengantin wanita ketika ‘berpamitan’ pada ayah bundanya.
Terakhir kali aku tidak menangis setiap pagi, adalah beberapa bulan sebelum aku mendiami kasur ini. Pagi yang masih komplit. Pagi dimana aku masih memiliki hidupku seutuhnya. Pagi dimana aku tidak melihat papan nama itu, di atas kepala kasurku.
Aku beringsut, di atas kesadaranku membereskan kasurku, yang sama bau asamnya dengan gulingku. Gerakan yang sama seperti kemarin, seperti kemarinnya lagi. Melipat selimut, membenarkan bantal dan guling, merapikan seprai, menghela nafas.
Aku menatap lagi kasurku, hihi sudah rapi, tanpa tangisan berarti. Pandanganku beranjak ke atasnya, kepala kasur.
Pasien : Dian Karunia Putri
Dokter : dr. Suharyanto, Sp.KJ
Aku meneteskan air mata. Tergugu.

4 tahun 1 bulan yang lalu
Sinar terang. Aku silau tak bisa membuka mata.
“Raka.. sst, dian..” Tak jelas aku mendengar orang di sekelilingku bergumam. Kenapa mereka tak bicara lebih jelas?
Aku pusing. Aku butuh obat migrain-ku. Kupaksakan kubuka mata, putih. Aku dimana?
“Malam ini pemakamannya, orang tua Raka tak ingin menunda”
"Wah sayang ya, masih muda dan di puncak karir. Truknya ngebut banget no berarti sampe mobilnya kayak gitu."
Aku bergetar. Saat aku mendengar jelas, kalimat macam apa ini?
“Rakaaaaaaaaaaaaaa!”
“Hen, panggil dokter, Dian sadar!” Orang kembali bergemuruh di sekitarku.

Yang aku tahu, gemuruh orang-orang mengantarkanku ke gemuruh lain dalam diriku, dalam fisikku, dalam otakku, dalam hatiku.
Gemuruh yang mengantarkan Raka dan Raka kecil-ku. Dan aku disini, tergugu setiap pagi.

0 comment:

Posting Komentar

speak up! ;)