Aku dan Raka - 1

on Selasa, 29 Mei 2012
Aku terkesiap, semerta terbangun. Mimpi itu lagi. Scene itu lagi. Orang-orang itu lagi. Untungnya, tanpa skenario paling akhir yang membuatku selalu terbangun berpeluh setelahnya.

Gontai aku berjalan, menuju ke arah jendela yang sudah kuhapal di luar kepala tempatnya. Kutarik pelan tirai, menikmati setiap berkas sinar mentari yang masuk melalui satu-satunya jendela di kamarku, persis menghadap ke timur. Aku membuka daun jendela, menggeliat menghirup udara pagi yang selalu membekukan di kota ini. Cukuplah udara dingin itu membuka mataku. Rutinitas pagiku yang indah dimulai. Menunggu sarapan datang sambil tiduran di kasur, menatap tembok putih besar di seberang, memeluk guling bau asamku, berusaha mengingat scene-scene mimpiku tadi malam, berharap aku memiliki ingatan fotografis. Tersenyum.

8 tahun yang lalu
Aku 20 tahun, hari ini. Sehari sebelum aku berulang tahun, kadang aku bertanya dalam hati : “Hal apa yang aku dapat besok? Akankah teman-temanku ingat dan memberiku kado? Akankah dia menjadi yang pertama memberikan ucapan selamat? Atau justru yang terakhir? Seperti saat aku ternyata lupa ulang tahun temanku, dan berkelit itu spesial karena aku akan menjadi yang terakhir mengucapkannya” Namun, untuk tahun ke-20-ku, aku bahkan sudah mengetahui kado-ku 2 bulan sebelumnya. Bukan surprise, tapi justru menjadi kado yang aku tunggu dan terindah. Bahkan, tak pernah aku bangun sepagi ini untuk menyambut kado-ku.

“Saya terima nikah dan kawinnya Dian Karunia Puspitasari binti Saifullah dengan mas kawin tersebut, tunai.”
“Sah? Saaah.. Alhamdulillah”

Orang-orang di sekitarku mengucap alhamdulillah bersahut-sahutan. Lelaki itu menandatangani buku nikah, aku memandangnya dengan seksama. Akhirnya tiba giliranku membubuhkan tanda tanganku di buku nikah. Gemetar mencoretkannya. Bahkan ujian-ujianku, termasuk SNMPTN tak pernah membuat tanganku gemetar sehebat ini. Akhirnya jadi juga coretan tanda tangan yang agak sedikit berbeda dengan tanda tanganku biasanya. Ah biarlah, toh ini juga hanya kapan-kapan kubuka.

Kutatap wajah Raka-ku, tertawa penuh kebahagiaan atas keberhasilannya mengucap ijab tadi, setelah dilatih intensif selama seminggu penuh. Ia berlatih keras untuk tidak mengucap ‘Kurnia’ tapi menyebut ‘Karunia’ sebagai nama tengahku. Sms seiap malam berapa kali ia berlatih hari ini. Dan baru saja, ia mengucapkan dengan perfect, dengan suara yang pas menurutku. Yeah, sebut saja aku memang sedang mabuk kepayang, apapun dari Raka selalu terlihat dan terdengar  indah. Hihi.


Kado ke 20-ku adalah pernikahanku.

0 comment:

Posting Komentar

speak up! ;)